Dalam persepsi Amerika Serikat
(AS) seta sekutunya, ancaman kelompok teroris tak akan pernah berhenti bahkan
meningkat dalam beberapa tahun terahkir. Sementara kelompok-kelompok
"lama" seperti al-Qaeda, al-Shabab di Etiopia atau Boko Haram di
Nigeria yang frontal menentang dan menyerang kepentingan dan kebijakan AS dan
sekutunya tetap berlangsung, ancaman baru muncul akibat ketidakstabilan politik
di wilayah Timur Tengah. Perebutan tampuk kekuasaan pemerintah dijadikan momen
yang tepat bagi sempalan atau kelompok teroris baru menunjukan identitasnya.
Salah satunya adalah konflik
horizontal di Suriah dan Irak yang menyebabkan kevakuman pemerintah. Kondisi
ini dimanfaatkan betul bagi kelompok-kelompok militan untuk bangkit. Di
antaranya yang paling mengguncang dunia adalah kelompok Islamic State in Iraq
and al-Sham (ISIS) yang kemudian hari lebih populer dengan sebutan Islamic
State (IS).
ISIS bukanlah
"pemain" baru. Pelopornya adalah Ahmad Fadl al-Nazal al-Khalayleh
alias Abu Musab al-Zarqawi yang mendirikan kelompok Jama‘at al-Tawhid wa
al-Jihad (JTWJ) sekitar tahun 1992.
Zarqawi mendirikan kelompok
baru ini setelah mendapat restu dari pemimpin al-Qaeda dan mendapat pinjaman
dana sebesar US$200,000 (Rp 2.4 miliar) untuk mendirikan kamp latihan. Kelompok
Zarqawi selanjutnya mengalami evolusi selama 15 tahun, yang dulu hanya
sekelompok puluhan orang sekarang meluas hingga ribuan anggota dan kekuasannya
melintas batas negara. Data terbaru menyebutkan kekuasaan IS membentang seluas
423 mil di Irak dan Suriah.
ISIS secara resmi
dideklarasikan pada 29 Juni 2014 oleh Ibrahim Awwad Ali al-Badri al-Samarrai
alias Abu Bakr al-Baghdadi. Sebagai penanda eksistensinya pada dunia
internasional, ISIS melakukan serangan cepat ke Mosul pada Juli 2014 yang
mengakibatkan ribuan suku Yazidi mengungsi.
Hal ini mengundang keprihatinan
PBB dan sejumlah negara yang akhirnya memicu serangan dari udara dan laut yang
dipelopori Amerika Serikat (AS). Intenvensi AS ini kemudian didukung sejumlah
pihak yang melibatkan pasukan lokal seperti pasukan pemerintah Suriah dan Irak.
Kelompok-kelompok atau suku di kawasan regional yang merasa terancam oleh ISIS
seperti Suku Kurdi di Turki pun ikut bergabung melawan ISIS. Hingga sejumlah
negara di Eropa dan Arab beramai-ramai bergabung dengan AS memborbadir ISIS.
Kekuatan ISIS diperkirakan
berjumlah 31.000-an tentara dengan pasukan intinya mencapai 20.000-25.000-an.
Disebut pasukan inti karena merekalah yang menjunjung tinggi dan melaksanakan
ideologi ISIS secara konsisten. Dengan paham yang radikal, ISIS secara cepat
mampu menguasai kehidupan sosial politik masyarakat yang wilayahnya dikuasai.
Melalui intimidasi langsung dan tak langsung, serangan gerilya, eksekusi,
penyusupan, dan teknik penyerangan yang ortodoks ISIS mampu mengalahkan pasukan
pemerintah dan kelompok lainnya yang bersebarangan.
Menurut The Syrian Observatory
for Human Rights, sejak Juni 2014, ISIS telah mengeksekusi hampir 2.000 orang.
Setengahnya merupakan warga sipil Sunni.
Banyak pihak yang mengklaim
kekuatan ISIS lebih besar dan profesional ketimbang al-Qaeda. Salah satunya
dinilai dari struktur organisasi dan birokrasi yang tersusun lebih baik.
Pemerintahan kecil tersebut bertugas memikirkan rencana jangka panjang ISIS,
salah satunya memikirkan bagaimana mencari dana untuk biaya operasinya.
Dibandingkan al-Qaeda yang mengumpulkan dana melalui cara tradisional seperti
donasi atau sumbangan anggota dan simpatisannya, ISIS lebih terbuka. Mereka
terang-terangan menjual hasil sumber alam dan apapun yang bisa dijual yang
berada dalam wilayah kekuasannya ke pasar gelap. Misalnya minyak mentah, gas,
hasil pertanian, atau benda-benda antik dan bersejarah. ISIS juga menjual atau
meminta tebusan terhadap tahanan yang mereka sekap. Bahkan tahanan yang sudah
mati pun mereka jual. Pendapatan lainya diperoleh melalui pajak, donasi, dan
pencucian uang. Hingga September 2014, ISIS diperkirakan bisa meraup dana
sebesar US$2 juta (Rp 24 miliar) per harinya. Pendapatan tersebut menjadikan
ISIS sebagai kelompok teroris paling kaya sedunia.
Hal lainnya yang menunjukkan
ISIS lebih besar dari al-Qaeda adalah proses rekrutmen anggotanya. ISIS dinilai
lebih terbuka soal keanggotaan. Mereka tidak cuma merekrut orang-orang yang
berada di wilayah konflik di Timur Tengah tapi juga orang-orang di dunia Barat,
Asia, Eropa, Australia, hingga AS. Hal inilah yang membuat AS dan Inggris
pernah menyatakan kesulitan untuk melacak anggota ISIS.
Kunci
kesuksesan dari rekrutmen ini salah satunya melalui sosial media seperti
Twitter. Dari sekian banyak akun Twitter simpatisan ISIS, yang paling
berpengaruh adalah akun bernama Shami Witness. Adminnya yang dikenal dengan
nama Mehdi Masroor Biswas awal bulan lalu ditangkap di India. Mehdi merupakan
seorang pebisnis di level top manajemen sebuah perusahaan India. Sebelum
ditangkap, disela-sela pekerjaannya, ia bertindak seperti desk
information ISIS.
Mehdi menjadi jembatan informasi bagi semua simpatisan dan orang-orang yang
penasaran menjadi anggota IS. Ia mem-posting paham dan ratusan berita propaganda
ISIS setiap harinya. Dengan follower yang mencapai 70.000-an, Mehdi menjadi
aktor penting dalam rekrutmen anggota ISIS khususnya yang berasal dari luar
wilayah Timur Tengah. Menurut CIA jumlah "bule" anggota IS sekitar
2.000-an.
Dari ribuan anggota ISIS dari
seluruh dunia, puluhan di antaranya berasal dari Indonesia. Bahkan Indonesia
dengan Malaysia punya satuan tempur tersendiri di ISIS dengan nama Katibah
Nusantara Lid Daulah Islamiyyah. Unit ini terbentuk berdasarkan kesamaan bahasa
yang digunakan dengan anggotanya diprediksi mencapai 22 orang.
Indonesia secara tegas menolak
kehadiran ISIS dan pahamnya. Sebelum pergantian kabinet, mantan Menteri
Politik, Hukum, dan HAM Djoko Suyanto menegaskan paham ISIS tidak sesuai dengan
Pancasila dan Bhenika Tunggal Ika. Begitu juga ormas Islam seperti Dewan
Masjid, GP Ansor, PBNU, Muhammadiyah, dan MUI menolak keras paham ISIS karena
ideologinya bertentangan dengan ajaran Islam.
Pengakuan terhadap
sekelompok orang bersenjata secara teroganisir dalam sebuah negara yang
bertujuan menentang rezim pemerintahan yang sah adalah untuk melindungi dan
menjalankan asas humaniter atau kemanusiaan. Sehingga setiap individu yang
terlibat sengketa dan tidak mendapatkan hak mereka sesuai dengan peraturan
hukum humaniter internasional serta tidak melanggar hak asasi manusia. ISIS
atau gerakan-gerakan lain seperti Hammas dan Ikhwanul Muslimin dalam hukum
internasional memiliki status yang beragam. Status tersebut berimplikasi pada
berbagai peraturan internasional yang berhubungan dengan peraturan peperangan
dan hukum humaniter. Dalam penulisan artikel ini penulis menelusuri berbagai
catatan literasi tentang ketentuan pemberlakuan status belligerensi dan gerakan
pembebasan bangsa dalam hukum internasional. Simpulan dari tulisan ini adalah
pemberian status belligeren ataupun gerakan pembebasan nasional memiliki
berbagai akibat hukum sehingga terkadang negara yang bersengketa enggan
memberikan status tersebut dengan alasan politis. Hukum internasional dengan
sifatnya yang tidak bisa memaksa untuk dilaksanakan pada seluruh negara,
menjadikan semua aturan ini hanya sebatas norma internasional on the paper, bahkan
tidak jarang menimbulkan asumsi bahwa hukum internasional adalah hukum rimba
dalam dunia modern.
Kata kunci: ISIS,
pemberontak, gerakan pembebasan nasional dan teroris
- Pendahuluan
Pengakuan akan
eksistensi sebuah negara dalam hukum internasional merupakan salah satu syarat
berdirinya sebuah negara baik pengakuan tersebut secara dejure maupun de
facto. Selain pengakuan terhadap eksistensi negara tersebut, dalam hukum
internasional terdapat berbagai jenis pengakuan lain dan salah satunya adalah
pengakuan terhadap eksistensi gerakan pemberontak. Secara umum pemberontak
adalah sebuah gerakan yang menentang terhadap pemerintahan yang sah.
Para kelompok yang
menentang pemerintahan sah, bisa disebut insurgensi dan pada tahap tertentu
bisa masuk dalam kategori belligerensi (pemberontak). Dalam konteks hukum
internasional kelompok belligerensi masuk dalam kategori subjek hukum, artinya
mereka memiliki hak dan kewajiban dalam hukum Internasional. Pengakuan ini
dimunculkan karena kelompok semacam ini terkadang secara politis tidak
diuntungkan mengingat keberadaan mereka dalam menentang sebuah rezim yang
sedang berkuasa.
Dari aspek
diferensiasi kaum belligerensi dan gerakan kemerdekaan nasional, terdapat
beberapa hal mendasar yang menjadikanya sulit untuk dibedakan begitupun juga
dengan gerakan teroris, karena secara umum gerakan ini memiliki tujuan yang
hampir sama yakni menolak dan menentang kepemimpinan pemerintah yang sah.
Padahal dari aspek hukum perang internasional gerakan ini menempati posisi yang
berbeda, sehingga dalam batas tertentu pemeritahan yang sah harus memperhatikan
semua aspek yang melingkupinya.
Beberapa bulan
terakhir, banyak beredar berita dan informasi tentang gerakan pendirian
khilafah atau sebuah negara Islam yang disebut dengan ISIS (Islamic State Iraq
Suriah). Berita tersebut semakin marak dan ramai diperbincangkan di Indonesia
menyusul berbagai bukti berupa video tentang deklarasi ISIS di Indonesia. Dalam
konsepsi hukum internasional, para kelompok seperti ini disebut dengan
belligeren, ketika kelompok ini sudah mendapatkan status tersebut maka mereka
menjadi salah satu subjek hukum internasional.
Metode yang penulis
gunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif yuridis, dimana penulis menelusuri
beberapa pandangan ahli serta perundang-undangan internasional terkait hal yang
penulis bahas sehingga dari penelusuran tersebut diharapkan bisa mengetahui
positioning dari setiap gerakan masyarakat internasional dalam hal yang menjadi
bahasan ini. Sebagai batasan dalam pembahasan ini, penulis akan fokuskan kajian
ini pada aspek siapa yang berhak menentukan status belligensi tersebut, apa hak
dan kewajiban yang mereka dapat, serta bagaimana hukum internasional melindungi
dan menuntut kewajiban hukum bagi mereka begitu juga apa perbedaan antara
pemberontakan, teroris dan gerakan pembebasan nasional.
- Terminologi
Dalam pengertian umum,
pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas yang sah (Sugono, 2008: 188).
Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan
sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya
meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk
pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula
merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Istilah yang
dipergunakan dalam fora internasional tentang pemberontak sangat beragam antara
lain ‘kesatuan non negara’ (non state entites), ‘kelompok subversif’ (subversive
groups), ‘gerombolan penduduk sipil bersenjata’ (armed civilian groups),
‘kelompok perlawanan bersenjata’ (armed opossision groups), ‘pasukan
gerilya’ (guerillas), ‘pemberontak’ (rebels: gradasinya lebih rendah/
insurection: gradasinya lebih tinggi). Walaupun menyandang predikat yang sangat
beragam, namun terdapat kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri
khas dari gerakan pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada
umumnya motivasi gerakan pemberontakan adalah mengangkat senjata melawan
pemerintahan yang berdaulat atau berkeinginan untuk menggulingkan dan
menggantikan pemerintahan yang resmi (Pemanasari, 799). Di Indonesia juga
memiliki beberapa istilah yang bermacam-macam antara lain; pemberontak[2], gerakan pengacau keamanan (GPK[3]), pembelot, kaum berseberangan, mafia, kaum
oposisi, teroris dan lain-lain.
Kebanyakan
pemberontakan dilaksanakan untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan
pemerintahan yang baru, sesuai dengan harapan para pemberontak, baik itu dari
segi keseluruhan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada era Perang
Saudara Amerika atau sebagian saja seperti yang dilakukan GAM di Indonesia, SLM
di Sudan, Chechnya di Rusia, atau Fidel Castro dan Che
Guevara di Amerika Latin.
Namun dalam
perkembanganya, pemberontakan tidak saja hanya gerakan anti-pemerintahan yang
dilakukan dengan mengangkat senjata. Setidaknya ada beberapa tipe pemberontakan,
antara lain: ketidakmauan berkorporasi dan bekerja sama kepada pemerintah,
seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi. Gerakan mempertahankan wilayah yang
telah dikuasai oleh musuh, seperti perang revolusi Indonesia pada 1945-1949.
Gerakan revolusi yang mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan
yang ada, seperti revolusi Rusia. Pemberontakan yang dilakukan oleh pemberontak
lokal, seperti perang Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro.
Pembangkangan militer pada pemimpinya, layaknya yang dilakukan militer Filipina
pada presiden Gloria Macapagal Arroyo dan lain-lain.
Dalam perkembanganya,
hukum internasional juga mengalami perluasan menyangkut subjek hukum dalam
keadaan tertentu yakni individu dalam pengertian terbatas, yaitu yang terbatas
pada penjahat perang (Kusumaatdja, 1986) keadaan tertentu yang dimaksud adalah
perkembangan yang meski mirip dengan status pihak dalam sengketa perang, namun
memiliki ciri khas yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasan. Untuk
memberikan definisi tentang organisasi pembebasan ini para ahli hukum mengalami
kesulitan karena pandangan mengenai organisasi ini sangat dipengaruhi oleh
permasalahan politis, oleh karenanya sampai saat ini kesamaan pandangan
diantara para ahli hukum juga belum ditemukan sebagaimana di klaim oleh para
pengamat (Thontowi, 2006:124).
Adanya pengakuan
terhadap organisasi pembebasan ini adalah sebuah konsepsi baru terutama yang
diikuti oleh negara-negara dunia ketiga berdasarkan pengertian bahwa peoples (bangsa-bangsa)
dianggap memiliki hak asasi, seperti; (1) Hak menentukan nasib sendiri (2) Hak
untuk secara bebas menentukan sistem ekonomi, politik dan sosial (3) Hak untuk
menguasai sumber daya alam dari wilayah yang ditempatinya. Penetapan status
seperti ini meski patut diberikan sebagai bentuk penentangan terhadap
kolonialisme namun harus juga diberi penilaian yang objektif terkait dengan apa
yang disebut bangsa, sehingga hal ini tidak dimanfaatkan oleh sekolompok kecil
kaum separatis yang hendak mengoyak stabilitas masyarakat internasional dengan
mementingkan golongan mereka (Kusumaatmadja, 1986: 103-104)
Lebih lanjut Mochtar menjelaskan bahwa dalam membedakan antara gerakan
pemberontakan dengan gerakan pembebasan nasional, maka hukum humaniter memiliki
beberapa terminologi khusus yang biasa disebut dengan ‘war of national
liberation’ dimana jenis peperangan ini hanya terbatas pada 3 macam jenis
sengketa bersenjata saja, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi pada masa
penjajahan (kolonialisme), pada situasi dimana ada pendudukan asing (allien
occupation), serta pada situasi dimana pemerintah dari suatu negara
melakukan pemerintahan yang bersifat rasialis (apartheid). Hal ini
ditegaskan dalam pasal 1 ayat (4) Protokol I tahun 1977, yang menjelaskan bahwa
hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh sebuah bangsa (people) yang
berperang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan demikian perang pembebasan nasional, hanya terjadi dimana suatu angkatan
bersenjata resmi dari suatu negara pada hakekatnya berjuang melawan pasukan asing
dari negara asing. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para
pemberontak dimana tentara resmi suatu negara melawan sebagian warga negara
yang mengangkat senjata. Apabila terjadi sengketa seperti itu, maka berdasarkan
hukum humaniter apabila pecah sengketa bersenjata diwilayah tersebut dalam
batas-batas tertentu akan dianggap sebagai suatu sengketa bersenjata yang
bersifat non-internasional.
Sebagai contoh gerakan
kemerdekaan yang sampai saat ini mungkin masih berlangsung dalam pencapain hak
mereka untuk menentukan perilaku mereka sebagai negara yang berdaulat seperti
halnya Palestina[4] yang berada di bawah penguasaan Israel,
maka pelaksanaan hubungan bisa saja berjalan dengan negara lain bukan sebgai
negara yang berdaulat melainkan hanya sebagai organisasi pergerakan sebagai
wakil dari rakyat yang ada di bawahnya saja.
Sedangkan permasalahan
yang hampir serupa dengan kedua kelompok diatas adalah permasalah teroris yang
kemudian muncul istilah war on terror (perang terhadap
terorisme). Istilah ini muncul pertama kali ketika dua pesawat menabrak menara
kembar World Trade Center pada 11 September 2001 yang menewaskan
hampir 2.792 orang di New York(Sasoli, 2006). Sejak saat itu war
on terror dideklarasikan oleh Amerika Serikat, hal ini kemudian
menimbulkan perdebatan pada masyarakat internasional yang pada akhirnya
mempertanyakan apakah kegiatan terorisme ini dapat diklasifikasikan sebagai
perang atau konflik bersenjata? Apakah teroris ini termasuk dalam kelompok
bersenjata? Kedua pertanyaan ini saling berhubungan karena konflik bersenjata
tidak akan ada tanpa dua atau lebih pihak yang bertikai yang antara lain angkatan
bersenjata suatu negara atau kelompok bersenjata.
- Penentu Status
Pihak yang berhak
menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan itu sendiri
atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas negara ketiga tersebut.
Jika pengakuan muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang
bersangkutan harus memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan
sebagai penjahat, serta setiap pihak baik pemberontak maupun pemerintah
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak terhadap warga asing yang
berada dalam wilayah sengketa.
Pengakuan terhadap
pemberontak ini pada dasarnya dilandasi atas dasar kemanusiaan semata, agar
para pemberontak tidak diperlakukan sebagai penjahat biasa, namun meskipun
pengakuan telah diberikan, pemerintah tetap diperbolehkan untuk menumpas pemberontakan
tersebut. Karena pihak pemberontak telah menerima pengakuan sebagai pihak
berperang maka peperangan yang terjadi bukan lagi di anggap perang saudara,
konsekwensi dari itu ialah hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah
diakui dalam penyelenggaraan perang non-internasional yakni konvensi Jenewa
1949 dalam pasal 3.
Sedangkan dalam
permasalahan terror atau terorisme menurut Sasmini tidak dapat menjadi pihak
dalam konflik jika merujuk pada konvensi ini. Hal ini terjadi karena konsep
dalam konvensi Jenewa menyatakan bahwa pihak dalam sengketa memiliki tingkat
minimum organisasi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan kewajiban
internasional. Teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi
kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai
pihak dalam pertikaian (Sasmini, 2010).
- Tahapan Status Pemberontak
Tindakan untuk
menentang sebuah pemerintahan yang sah dengan tujuan mendirikan kekuatan
sendiri atau bangsa terdapat dua tahapan dalam hukum internasional, tahap
pertama adalah tahap pemberontakan atau disebut insurgensi dan kedua adalah
tahap lanjutan atau disebut belligerensi. Tahapan yang kedua ini menunjukan
kematangan organisasi serta gerakan yang semakin masif dan konsisten sehingga
mirip dengan sebuah sistem pemerintahan.
Pada prinsipnya
insurgensi merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara namun secara
fakta belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam
melakukan perlawanan. Jadi kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai
pribadi internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.
Dalam kualifikasinya
sebagai insurgen, pemberontak atau gerakan separatis secara hukum internasional
masih dilihat sebagai gerakan yang bertujuan mencapai keberhasilan melalui
penggunaan senjata. Jadi kualifikasi insurgensi belum dapat disebut sebagai
perang saudara (civil war) dalam hukum internasional. Pada wilayah dimana
terjadi pemberontakan, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban
sebagai penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi
majelis umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya
negara asing membantu kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan
karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional (Samekto, 2003).
Apabila pemberontakan
insurgensi berkembang meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan
kecenderungan semakin teratur pengorganisasiannya dan telah menduduki beberapa
wilayah negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan pemberontak telah
berkuasa secara de facto atas beberapa wilayah . Dalam tahap
ini, menurut hukum internasional, keadaan pemberontakan telah mencapai tahap
belligerensi.
Gerakan separatis atau
pemberontakan berdasarkan hukum humaniter adalah suatu gerakan perlawanan
bersenjata (armed opposition group)yang berperang melawan negara dengan
maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan sederajat dengan negara lain.
Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya berlaku hukum kebiasaan
berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907[5] dalam lampiranya menyatakan bahwa sebuah
kelompok harus memenuhi empat syarat tertentu (sering disebut sebagai
persyaratan klasik), yakni; (1) Memiliki pemimpin yang jelas dan bertanggung
jawab terhadap anak buahnya; (2) Memiliki uniform (seragam) yang dapat
diketahui dari kejauhan; (3) Membawa senjata secara terbuka; dan (4) Mematuhi
hukum kebiasaan berperang (Permanasari, 2007: 786).
Sedangkan Adolf
memberikan persyaratan yang sedikit berbeda terkait dengan persyaratan kelompok
gerakan bersenjata ini, yakni: (1) Pemberontakan telah terorganisir dalam satu
kekuasaan pemimpin yang teratur serta bertanggungjawab atas tindakan
bawahannya. (2) Pemberontak memiliki tanda pengenal atau uniform yang jelas
serta menunjukan identitasnya. (3) Pemberontak secara de facto telah
menguasai secara efektif atas beberapa wilayah. (4) Para pemberontak
mendapatkan dukungan dari rakyat diwilayah yang didudukinya (Adolf, 1991:
125-126) Menurut Adji terdapat satu tambahan lagi yang harus dipenuhi oleh kaum
belligerensi adalah keharusan mereka menaati hukum dan kebiasaan perang seperti
melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil (Samekto;
2003).
Secara umum dari
beberapa pandangan diatas inti gagasannya adalah adanya organisasi yang matang
dan gerakan yang masif sehingga bisa disebut sebagai sebuah gerakan yang terstrukur.
Apabila tahap pemberontakan di suatu negara telah mencapai tahap belligerensi,
maka dimungkinkan adanya pengakuan negara lain yang mengakui kedudukan
pemberontak tersebut. Tetapi apabila suatu negara memberikan pengakuan terhadap
pemberontak sebagai belligeren, padahal sebenarnya tidak memenuhi persyaratan
tersebut, maka pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur
tangan terhadap suatu negara yang sedang menumpas pemberontakan di dalam
wilayahnya, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional.
- Ketentuan Hukum Perang
- Hukum yang harus dipatuhi
Sengeketa bersenjata
non-internasional sebelum berlakunya konvensi Jenewa 1949 pada prinsipnya
adalah tidak termasuk pengaturan hukum internasional dan masuk pada pengaturan
hukum nasional. Namun kemungkinan terjadinya perang itu menjadi sengketa
internasional adalah ketika yang mengakui kelompok tersebut adalah negara lain
atau negara ketiga sebagai belligerent (Kusumaatmadja, 1986:
22). Akan tetapi karena pengakuan sebagai belligerensi pada hakikatnya adalah
kemauan pihak negara sah yang ditentang sehingga hukum perang internasional dan
pertikaian senjata non-internasional menjadi tidak menentu, terlebih pengakuan
tersebut akan membuat pihak pemberontak menjadi semakin kuat posisinya, maka
wajar negara yang ditentang selalu menghindari pengakuan ini. Oleh karenanya
semenjak diberlakukanya konvensi Jenewa 1949 hukum perang non-internasional
tidak lagi bergantung pada pengakuan negara yang ditentang dan diharuskan oleh
pasal 3 KJ 1949 (Istanto, 1992: 47-48).
Latar belakang
pembentukan protokol tambahan II adalah karena setelah perang dunia II
konflik-konflik yang terjadi kebanyakan adalah konflik yang bersifat
non-internasional. Konflik bersenjata non-internasional diatur dalam Pasal 3
ketentuan yang bersamaan (common articles) konvensi Jenewa 1949. Namun,
karena dirasakan belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah
kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik bersenjata non-internasional,
maka diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatasi hal ini.
Ketentuan-ketentuan
dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan:
- Mengatur: Jaminan-jaminan
fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak
terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
- Menentukan: Hak-hak bagi
orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang baik;
- Memberikan: Perlindungan
penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan;
- Melarang: Dilakukannya tindakan
starvasi secara disengaja.
Protokol tambahan II
juga menentukan bahwa orang-orang yang luka harus dlindungi dan dirawat, para
personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan
dihormati. Lambang-lambang palang merah dan bulan sabit merah harus dihormati,
dan penggunaannya terbatas hanya kepada mereka yang secara resmi berha
memakainya. Prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam pasal 3common
articles kembali ditegaskan dalam protokol tambahan II. Namun
demikian, kendati terdapat penegasanpenegasan, protokol tambahan II ini juga
tidak membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban
berdasarkan peraturan mereka masing-masing.
Orang-orang yang tidak
mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan
perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi
turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau
sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan
perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas
ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan,
atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
Untuk maksud ini, maka
tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan
terhadap orang-orang di atas pada waktu dan tempat apapun juga, tindakan
tersebut adalah:
- Tindakan kekerasan atas jiwa
dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam
dan penganiayaan;
- Penyanderaan;
- Perkosaan atas kehormatan
pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
- Menghukum dan menjalankan
hukuman mati tanpa didahului keputusan pengadilan yang dibentuk secara
teratur, memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai
keharusan oleh bangsa-bangsa beradab (Wagiman, 2005: 17-18).
- Pihak yang harus dilindungi
Istilah ‘orang yang
dilindungi’ menunjuk pada orang-orang peserta dalam perang atau sengketa
bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti luas meliputi juga
orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Konvensi IV. Selain itu, mengandung pengertian pula orang-orang yang
karena pekerjaannyaharus dihormati dan tidak boleh diserang, yaitu
para anggota dinas kesehatan, petugas rumah sakit, dan para rohaniwan.
Pasal 13 konvensi I
dan II serta Pasal IV Part. A konvensi III menetapkan bahwa orang-orang yang
dilindungi dalam ketiga konvensi tersebut adalah:
- Anggota angkatan perang dari
pihak dalam sengketa, begitu pula anggota milisi atau barisan sukarela,
yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut;
- Anggota milisi serta anggota
dari barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan ter-organisir,
yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa serta beroperasi di dalam
atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki;
- Anggota-anggota angkatan perang
tetap yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui
oleh negara penahan;
- Orang - orang yang menyertai
angkatan perang yang bukan menjadi anggota dari angkatan perang itu,
seperti anggota sipil, awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok
makanan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas yang bertanggung jawab
atas kesejahteraan angkatan perang, dengan ketentuan mereka telah mendapat
pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai;
- Anggota awak kapal pelayaran
niaga termasuk nakhoda pemandu laut, taruna dan awak-awak pesawat terbang
sipil dari pihak dalam sengketa tidak berhak mendapatkan perlakuan lebih
baik menurut ketentuan hukum internasional.
- Penduduk wilayah yang belum
diduduki tatkala musuh mendekat, atas kemauan mereka sendiri dan dengan
serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang menyerbu, tanpa
mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata teratur,
dengan ketentuan mereka memikul senjata secara terang-terangan dan
menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
- Masa berlakunya perlindungan
Ketentuan mengenai
lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5
dari Konvensi III mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, yang berbunyi,
“Konvensi ini akan
berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam pasal 4 sejak mereka jatuh dalam
kekuasaan musuh hingga saat pembebasan dan pemulanga mereka terakhir. Bilamana
timbul keraguraguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang
bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam
golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan
memperoleh perlindungan dari Konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka
ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.
Dari ketentuan yang
disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang
dilindungi oleh konvensi ke tangan musuh saat itulah mulai berlakunya pemberian
perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam konvensi
jenewa 1949.
- Pengawasan
- Pengawasan dan Perlindungan:
Negara Pelindung
Mengenai ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi “konvensi ini harus
dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara
pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan pihakpihak dalam
sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara pelindung boleh mengangkat di samping
diplomatik dan konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari warga negara
mereka atau warga negara-warga negara netral lainnya. Utusan tersebut harus
mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban
mereka”.
- Pengawasan dan Bantuan: Palang
Merah Internasional dan Organisasi Kemanusiaan lainnya
Ketentuan mengenai hal
ini terdapat dalam pasal 9 yang menyatakan “ketentuan-ketentuan konvensi ini
bukan merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin
diusahakan oleh komite internasional palang merah atau tiap organisasi humaniter
lainnya yang tidak berpihak untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit,
anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan itu
mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”. Pasal ini
membuka kemungkinan untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh palang
merah atau organisasi humaniter.
- Sanksi Pelanggaran Konvensi
Ketentuan - ketentuan
mengenai pelanggaran terhadap konvensi ini, terdapat dalam Pasal 49-50 Konvensi
I, Pasal 50-51 Konvensi II, Pasal 129-130 Konvensi III dan Pasal 146-147
Konvensi IV. Pasal 49 Konvensi I menyatakan: “ Pihak peserta agung berjanji
untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana
efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
salah satu diantara pelanggaran berat atas konvensi ini seperti di dalam pasal
berikut. Tiap Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang
disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang
tersebut dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak peserta agung, dapat juga
sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada pihak
peserta agung lain yang berkepentingan orang-orang tersebut untuk diadili. Tiap
peserta agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas
pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal, berikut segala perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini.
Dalam segala keadaan,
orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang
wajar, tidak boleh melanggar dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh konvensi
jenewa mengenai perlakuan tawanan perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam Pasal
105 dan seterusnya. Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap
pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi
pihak penandatangan seperti terdapat Pasal 49 ini, harus dilihat dalam
hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penandatangan tidak
saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin
ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”.
Namun, sebagaimana
telah sedikit disinggung di awal bagian ini bahwa terdapat suatu kecenderungan
bahwa negara-negara sengketa enggan memberlakukan konvensi ini dengan
mengajukan berbagai alasan, diantaranya karena kekhawatiran pemberlakuan
Protokol II akan memberikan status belligerensi kepada pemberontak dan terdapat
berbagai aturan yang terkadang menghalangi dalam mewujudkan stabilitas
nasional. Tidak itu saja menurut Theodor Meron negara-negara juga enggan untuk
memberlakukan konvensi Jenewa, karena dengan penafsirannya yang meluas pada
berbagai macam jenis konflik internal, membuat negara-negara menolak
menerapkannya seperti yang terjadi dewasa ini (Haryomataram, 1988: 20).
- ISIS dalam Sudut Pandang
ISIS merpuakan
kelompok ekstremis yang mengikuti ideologi garis kerasAl-Qaidah dan dinilai oleh berbagai kalangan
menyimpang dari prinsip-prinsip jihad sebenarnya. Seperti halnya al-Qaeda dan
banyak kelompok jihad modern lainnya, ISIS muncul dari ideologi Ikhwanul
Muslimin, kelompok Islam
pertama di dunia pada tahun 1920-an di Mesir. ISIS mengikuti ekstrim anti-Barat
yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan
menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan, ISIS (sekarang IS)
bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan
bagian lain dari Syam (www.wikipedia.com).
Jika kita melihat
lebih mendalam, gerakan ISIS merupakan gerakan Islam modern yang mengusung
nostalgia sejarah masa awal Islam, menolak "inovasi" dalam agama yang
mereka percaya telah "korup" dari semangat aslinya. Kelompok ini
mengutuk kekhalifahan terakhir dan kekaisaran Ottoman karena menyimpang dari
apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan karenanya telah berusaha untuk
membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada juga tokoh Sunni seperti Zaid Hamid, bahkan kelompok salafi seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait
tidak mempresentasikan islam sunni sama sekali.
Dari berbagai catatan
sejarah, ISIS terbentuk dari gejolak dalam negeri di Irak dan Suriah. Berawal
pada tanggal 18 Maret 2003, ketika Pasukan Multinasional pimpinan Amerika
Serikat menyerang Irak dengan tuduhan membuat senjata pemusnah masal (meski
akhirnya tidak terbukti). Saddam Hussein dengan mudah dikalahkan Tentara
Koalisi Internasional pimpinan AS pada saat itu, namun gerakan rakyat Irak yang
terhimpun dalam beberapa kelompok gerilyawan memilih bertahan. Mereka bahkan
melakukan perang gerilya untuk mempertahankan negerinya dari invasi pasukan
asing.
Pada tanggal 15
Agustus 2005, kelompok pejuang mempersatukan diri dan membentuk Majelis Syura
Mujahidin. Berawal dari Majelis Syura Mujahidin inilah akhirnya dideklarasikan
Negara Islam Irak pada tanggal 13 Oktober 2006, dan mengangkat Abu Umar
al-Baghdady sebagai pemimpinnya. (simomot.com).
Kelompok-kelompok ini
mendapat bantuan dari para pejuang di luar negeri, termasuk dari Negara Islam
Irak. Kelompok pejuang rakyat Suriah akhirnya mampu membebaskan beberapa kota
termasuk wilayah perbatasan dengan Irak, sehingga menyatulah beberapa kota di
Irak dan Suriah di bawah kendali Negara Islam Irak. Fakta inilah yang mengilhami
pendeklarasian Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 9 April 2013 dengan
pemimpin tetap Abu Bakar Al-Baghdady. Hingga Maret 2014, wilayah yang dikuasai
ISIS meliputi 400.000 km2 di dua negara tersebut, atau lebih luas dari beberapa
negara Arab seperti Qatar, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, dan Lebanon.
- Teroris
Dalam masyarakat
internasional sampai sekarang belum menemukan sebuah kesepakatan yang baku
tentang pengertian teroris. Umumnya terorisme ini mengacu pada pembunuhan
dengan sengaja dan gegabah pada penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam
skala luas terhadap property tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan
ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak
ketiga, biasanya pemerintah (Macrae & Harmer, 2003). Istilah terorisme
dapat digunakan dalam hubungannya dengan tindakan pemerintah dalam penegakan
terorisme. Lebih luas lagi terorisme dapat digunakan untuk menggambarkan tindak
kekejaman dan perang saudara atau perang yang lain atau bentuk terorisme yang
lain dapat mengacu pada tindakan kekejaman secara internasional, dari bagian
Negara tertentu yang disebabkan oleh muatan politis (Sasmini, 2010).
Dari semua ketentuan
yang terdapat dalam konvensi Jenewa sebagaimana dijelaskan diatas, maka
ketentuan tersebut memungkinkan penerapanya dalam kasus perang terhadap
kelompok belligeren karena batasan tentang konflik bersenjata antar pihak yang
bertikai jelas wilayahnya, pihak-pihak-pihaknya dan pengaturannya, namun konsep
teroris telah mengaburkan hal tersebut.
Dalam hukum humaniter
internasional sudah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian adalah angkatan
bersenjata (armies) dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan
dengan jelas antara keduanya yang dikenal dengan prinsip pembedaan (distinction
principle). Sedangkan terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik,
sehinggawar on terror tidak dapat menjadi peristiwa dalam hukum
humaniter internasional. Konsep ‘pihak’ disini menunjukkan tingkat minimum
suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan kewajiban
internasional, sedangkan teroris dalam melakukan operasinya sering tidak
mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris
sebagai pihak dalam pertikaian sehingga kemudian teroris belum terakomodir oleh
konvensi ini.
- Simpulan
Berbagai gerakan
penolakan terhadap pemerintahan sah yang muncul dalam dunia internasional
memiliki berbagai ketentuan sehingga bisa disebut sebagai subjek hukum
internasional. Terkait dengan pemberian status belligerensi pihak yang berhak
memberikan status ini adalah negara yang sedang dalam sengketa dan karena
itulah kemudian di berbagai negara yang sedang terjadi pemberontakan enggan
memberikan status ini karena jika memberikan status belligeren maka mereka
memiliki hak yang sama dalam hak-hak internasional, hal ini terjadi karena
memang sifat hukum internasional yang bersifat tidak bisa memaksa. Sedangkan
permasalahan teroris tidak dapat menerapkan Konvensi Jenewa 1949 maupun
protokol tambahan tahun 1977 karena treaty tersebut
mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu untuk dapat disebut konflik bersenjata.
Beberapa ketentuan yang bisa mengakomodir terkait teroris adalah sumber hukum
humaniter internasional lainnya yakni hukum kebiasaan humaniter internasional
dan atau fundamental principles namun dalam pelaksanaannya hal
demikian sulit untuk dilaksanakan karena teroris merupakan jaringan yang tidak
memiliki ciri-ciri yang mapan serta kelompok ini cenderung tidak mau mengikuti
tata hukum yang ada.
Dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional, menangani permasalahan ISIS
di Indonesia tentu lebih jelas status gerakanya. Hal ini terjadi karena secara
struktur keorganisasian gerakan ISIS telah memiliki struktur dan organisasi
yang jelas serta pergerakanya di wialayah Iraq maupun Suriah juga mendapat
perlawanan dari negara tersebut. Artinya dalam kacamata hukum internasional
kepada mereka melekat berbagai aturan internasional termasuk didalamnya adalah
peraturan perang. Berbeda dengan teroris yang hanya mengandalkan jaringan dalam
melancarkan aksi mereka.
Daftar Pustaka
Jurnal
Permanasari, Arlina.
2007. Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Hukum
Humaniter. Jurnal Hukum Humaniter. 3 (4): 782-829.
Wagiman, Wahyu. 2005.
Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia.Bahan Bacaan kursus HAM untuk
Pengacara, Elsam: Jakarta
Buku
Adolf, Huala.
1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional.Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Haryomataram.
1988. Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta: Bumi Nusantara Jaya,
Jakarta.
Istanto, Sugeng.
1992. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dalam
Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset.
Kusumaatja, Mochtar.
1986. Pengantar Hukum Internasional Bagian 1.Bandung: Bina Cipta.
Thontowi, Jawahir dan
Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Sugono, Dendy ed.
Et.all, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kamus
Pusat Bahasa Depdiknas.
Surat kabar
Samekto, Aji, 14 Juni
2003, Kasus Aceh Indonesia tak Dapat Dituntut. Jawa Tengah:
Suara Merdeka.
Website
Sasoli, Marco. Transnational
Armed Groups and International Humanitarian Law. Program on Humanitarian Policy
and Conflict Research Harvard University. Occasional Paper Series. Winter
2006.http://www.ihlresearch.org (diakses pada 12 November 2010).
[1] Artikel ini pernah diterbitkan di jurnal
“El-Qudwah” LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[2] Dalam bahasa internasional istilahnya
bermacam-macam diantaranya Insugent, belligerency, rebellion, armed
rebellions, revolution
[3] Istilah ini sering digunakan oleh
pemerintahan era orde baru dimana penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk
memberikan keuntungan secara politis bagi orde baru untuk menindak semua
gangguan keamanan di Aceh. Sebab istilah GPK memiliki konotasi yang luas dalam
arti pemerintah dapat menindak semua pembuat kekacauan tanpa harus membedakan
apakah mereka dari kelompok sipil ataupun oleh sekelompok orang bersenjata.
[4] Sejarah dimulainya pengakuan terhadap
Palestina ini adalah pada tanggal 22 November 1974 melalui resolusi Majelis
Umum PBB No.3237, PLO (Palestine Liberation Organization) diberi status
sebagai peninjau tetap pada PBB, selain itu PM Austria pada saat itu Bruno
Kreisky pada tahun 1980 dengan memberikan pengakuan diplomatik penuh kepada
PLO. Dua minggu setelahnya India juga memberikan pengakuan diplomatik secara
penuh kepada PLO dan meningkatkan status kantor perwakilan PLO di New Delhi
yang didirikan pada tahun 1976 menjadi kantor Kedutaan Besar Palestina di
India. Pada tahun 1981 giliran Uni Soviet memberikan status diplomatik resmi
kepada PLO di Moscow Russia. Selanjutnya Palestina National Council, pada tanggal
16 November 1988 memproklamasikan pembentukan negara Palestina di Alger dan
keesokan harinya Indonesia secara resmi memberikan pengakuan terhadap
proklamasi tersebut. Sebagai tindak lanjut dari proklamasi tersebut, tanggal 19
Oktober 1989. Menteri Luar Negeri Palestina Farouk Kaddoumi menandatangani
Komunike bersama dengan Indonesia tentang pembukaan hubungan diplomatik antara
Indonesia dengan Palestina pada tingkat Duta Besar, pada saat itu Ali Alatas
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Pada tanggal yang sama Menteri
Luar Negeri Palestina meresmikan pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta,
sedangkan Indonesia mengangkat Duta Besarnya di Tunis untuk diakreditasikan
(Persamaan tingkatan/yang disamakan) ke negara Palestina, (namun sekarang di
akreditasikan di Amman, Yordania) .
Ini adalah konvensi
yang mengatur tentang hukum kebiasaan berperang didarat